"Dunia berjalan ke belakang dan akhirat berjalan ke depan. Keduanya memiliki pengikut. Jadilah pengikut akhirat dan jangan menjadi pengikut dunia. Sebab, hari ini adalah amal dan bukan hisab, sedangkan besok adalah hisab dan tidak ada amal."

Rabu, 25 Mei 2011

Bahaya bicara agama tanpa ilmu

Bahaya bicara agama tanpa ilmu

Oleh: Abu Isma'il Muslim Al-Atsari!

Kita melihat manusia secara umum segan berbicara maslah-masalah dunia ketika di hadapannya ada orang-orang yang memiliki spesialisasi dalam bidang tersebut. Sebagaimana orang-orang segan berbicara masalah kedokteran, ketika ada dokter di hadapannya. Mereka segan berbicara masalah arsitek (bangunan) , ketika ada arsitektur (ahli bangunan) di hadapannya.
Tetapi sangat di sayangkan banyak orang tidak segan berbicara masalah agama, padahal dia bukanlah ahlinya, seperti para artis, pelawak, musisi dan lainnya, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain..! Padahal ketika dia berbicara dia selalu di awasi oleh pencipta agama yang haq ini, karena Allah selalu mendengar, melihat, dan menyaksikan segala yang di bicarakan manusia.
Dengan sedikit keterangan di bawah ini mudah-mudahan orang-orang mau mengambil pelajaran, sehingga tidak akan berbicara masalah agama dan masalah lainnya kecuali dengan ilmu.
Dan sesungguhnya hal itu termasuk manhaj Ahlus-Sunnah wal jama'ah sebagai mana dikatakan oleh imam Abu Ja'far ath-Thahawi, di dalam aqidah thahawiyahnya yang masyur. Beliau berkata: "dan kami berkata: "Wallahu a'lam (Allah yang mengetahui), terhadap perkara perkara yang ilmunya samar bagi kami". (Minhah Ilahiyah Fii Tahzhib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)

Bahaya bicara agama tanpa ilmu
Agama adalah apa yang telah dikatakan Allah dalam kitabnya Al-Qur'anul karim, dan sabda Rosulnya dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Allah dan Rosulnya termasuk kebodohan yang sangat berbahaya. Dugaan, dan perkiraan. Alangkah banyaknya orang-orang yang melakukan hal itu di zaman ini, sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang lain.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Syaikh Hafizh bin Ahmad al hakami rahima hulloh mengatakan: "Fashal: Tentang haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash". Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat al-Qur'an, diantaranya adalah firman Allah di bawah ini:

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir".(Qs.Al-Maaidah:44).

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.(Qs.Al-Maaidah:45).

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik, (Qs.Al-Maaidah:47).

Setelah mendengar ayat-ayat seperti ini, maka apakah orang-orang yang berbicara tentang agama Allah semata-mata dengan akalnya, perasaannya, perkiraannya, persangkaannya, dan dugaannya, akan tetap nekad mengedepankan kebodohannya itu???! Janganlah berbuat demikian!! Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenarnya, sehingga mudah-mudahan Allah akan memberikan kebaikannya.
Kekafiran yang di sebutkan pada ayat di atas bukan berarti keluar dari agama islam! Tidak. Bahkan perincian hukum bagi orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan telah masyur di kalangan Ahlus-sunnah Waljama'ah. Yakni hal itu bisa jadi termasuk kufur akbar yang mengeluarkan dari agama, dan bisa jadi termasuk kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari agama.

Inilah di antara beberapa bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:

1. Hal itu merupakan perkara tertinggi yang di haramkan oleh Allah.
Allah ta'ala berfirman:
"Katakanlah: Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar haq manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)."(Al-A'raf: 33)

Imam ibnul qoyim rahimahulloh menjelaskan tentang ayat di atas: "Allah mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan menjadi empat tingkatan.
Dia memulai dari yang terendah yaitu perbuatan-perbuatan keji, kemudian Dia menyebutkan yang kedua, yang lebih besar keharamannya, yaitu dosa dan kezaliman. Kemudian Dia menyebutkan yang ke tiga, yang lebih besar keharamannya dari dua hal sebelumnya, yaitu menyekutukan Allah 'azza wajalla (dosa syirik), kemudian Dia menyebutkan yang ke empat, yang paling besar keharamannya dari semua yang telah di sebutkan, yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu, di dalam nama-namanya, sifat-sifatnya, perbuatan-perbuatannya, dan di dalam agamanya dan syariatnya. (i'lamul Muwaqi'in 1/38)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rohima hulloh, berkata: "Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang di haramkan oleh Allah, bahkan hal itu di sebutkan lebih tinggi dari pada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Allah mengurutkan perkara-perkara yang di haramkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Berbicara tentang Allah tanpa ilmu meliputi:
Berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumnya, Syariatnya, dan agamanya. Termasuk berbicara tentang nama-namanya dan sifat-sifatnya, yang hal ini lebih besar (dosanya) daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syariatnya, dan agamanya." (at-tanbihat al latifah 'ala maihtawat 'alaihi al 'aqidah al wasithiyah, hal:34, tahqiq syaikh Ali bin Hasan, penerbit: Dar ibnil Qoyyim)
Syaikh Abburrahman bin nashir As-Sa'di rahimahulloh' menjelaskan makna "berbicara atas Allah tanpa ilmu" di dalam kitab tafsirnya, yaitu: (berbicara) tentang nama-namanya, sifat-sifatnya, dan syariatnya (agamanya)." (Taisir karimir Rahman, surat Al-A'raf: 33)
Imam ibnul qoyyim rahimahulloh juga menjelaskkan tentang bahaya berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Dia berkata: "Hal ini merupakan perkara terbesar yang di haramkan disisi Allah, dan paling besar dosanya. Karena hal itu memuat: dusta atas nama Allah.
Menisbatkan kepadanya apa yang tidak layak baginya, merubah dan menggantikan agamanya, meniadakan apa yang ditetapkan oleh Allah dan menetapkan apa yang ditiadakan oleh Allah, mewujudkan apa yang Allah batalkan dan membatalkan apa yang Allah wujudkan, memusuhi orang yang Allah bela, membela orang yang Allah musuhi, mencintai apa yang Allah benci, membenci apa yang Allah cintai, dan mensifatinya dengan apa yang tidak layak baginya, di dalam dzatnya, sifat-sifatnya, perkataan-perkataannya, dan perbuatan-perbuatannya.
Tidak ada jenis-jenis perkara yang Allah haramkan yang lebih besar (keharamannya) disisi Allah dan lebih besar dosanya daripada berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Dan hal itu merupakan pangkal kemusyrikan dan kekafiran, demikian juga bid'ah-bid'ah dan kesesatan-kesesatan di bangun diatasnya. Fondasinya tiap tiap bid'ah didalam agama adalah berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
Oleh karena inilah Salafush Shalih dan para imam (ulama) sangat keras mengingkarinya, bersuara keras terhadap pelakunya dari berbagai penjuru dunia, memperingatkan kesesatan mereka dengan keras, dan mereka bersungguh-sungguh memperingatkan hal itu, tidak sebagaimana pengingkaran terhadap perkara perkara keji, kezhaliman, dan permusuhan. Karena bahaya, pengrusakan, dan pertentangan bid'ah terhadap agama lebih besar (daripada bahaya, pengrusakan, dan pertentangan perkara-perkara keji, kezhaliman, dan permusuhan terhadap agama)." (Madarijus Salikin 1/372)

2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan salah satu bentuk dusta atas (nama) Allah, yang merupakan kezhaliman terbesar.
Tatkala orang-orang musyrik mengharamkan sebagian binatang ternak dan menghalalkan sebagian lainnya, maka Allah membantah mereka dengan firmannya:
"apakah kamu menyaksikan diwaktu Allah menetapkan bagimu? Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim." (al An'am: 144)
Imam ibnu katsir berkata didalam tafsir beliau: "Allah mengejek orang-orang musyrik tentang perkara yang mereka buat-buat, dan mereka adakan secara dusta atas (nama) Allah, yaitu pengharaman yang mereka lakukan. ( Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan) yaitu tidak ada seorang pun yang lebih zhalim daripada mereka." (tafsir al Quranun 'Azhim, surat al An'am: 144)
Setelah menjelaskan ayat-ayat tentang batilnya anggapan orang-orang musyrik yang mengharamkan sebagian binatang ternak dan menghalalkan sebagian lainnya dengan tanpa hujjah (dalil/argumen), syaik Abbdur Rahman bin Nashir As Sa'di berkata: "Yaitu tidak tersisa bagi kamu untuk menetapkan kebenarannya dan keabsahannya,"
Dakwaan itu adalah bahwa kamu mengatakan: "sesungguhnya Allah telah mewasiatkan kami tentang ini, dan Allah telah memberikan wahyu kepada kami sebagaiman Dia telah memberikan wahyu kepada para Rasulnya. Bahkan telah di wahyukan kepada kami sebuah wahyu yang berbeda dengan apa yang di serukan oleh para Rasul dan apa yang di turunkan kitab-kitab".
Tetapi kedustaan tersebut pastilah di ketahui oleh setiap orang, oleh karena itulah Allah berfirman: "Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan",, yaitu bersamaan kedustaannya dan berdusta (atas nama Allah), dia berniat menyesatkan hamba-hamba Allah dari jalan Allah, dengan tanpa bukti dari Allah, tanpa penjelasan, tanpa akal, dan tanpa riwayat (dari Rasul)". (taisir karimir Rahman, surat al An'am: 144)
Setelah menyebutkan ayat 59 dan 60 surat yunus, dan ayat 116 dan 117 surat an Nahl, Syeikh Muhammad bin Shalih al Ustaimin rahimahulloh berkata: "sesungguhnya termasuk kejahatan yang terbesar adalah:
A. Seseoran mengatakan tentang sesuatu baha itu halal, padahal dia tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu tersebut.
B. atau seseorang mengatakan tentang sesuatu bahwa itu haram, padahal dia tidak mengetahui apa hukum Allah tentang sesuatu tersebut.
C. atau seseorang mengatakan tentang sesuatu bahwa itu wajib, padahal dia tidak mengetahui apa hukum Allah tentang sesuatu tersebut.
D. atau seseorang mengatakan bahwa itu tidak wajib, padahal dia tidak mengetahui apa hukum Allah tentang sesuatu tersebut.
Sesungguhnya ini merupakan kejahatan dan adab yang buruk terhadap Allah. Wahai hamba Allah, engkau tahu bahwa hukum adalah milik Allah, tetapi bagaimana kemudian engkau mendahuluinya. Engkau berkata apa yang engkau tidak tau tentang agamanya dan syariatnya? Sesungguhnya Allah telah merangkaikan (larangan) berbicara tentang Allah tanpa ilmu dengan syirik (surat al A'raf: 33)." (kitabul ilmi, hal.75-76).

3. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasullulloh shallallahu alaihi wasalam bersabda:
"sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambanya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama,' sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang 'alim-pun, orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu di tanya, kemudian dia berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang lain." (HR. Bukhori no. 100, Muslim, dan lainnya)
Imam abu Umar ibnu Abdil Barr rahimahullah di dalam kitabnya, Jami' Bayanil 'Ilmi Wa Fadhlih, membuat satu bab: "keterangan yang ada tentang celaan berbicara di dalam agama Allah dengan akal, persangkaan, qiyas yang tidak memiliki dasar, berbicara di dalam agama dengan perkiraan dan persangkaan. Padahal telah di ketahui bahwa yang halal itu adalah apa yang dihalalkan di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulnya. Dan yang haram itu adalah apa yang di haramkan di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulnya.
Barang siapa bodoh/tidak tahu tentang hal itu dan menjawab pertanyaan yang di ajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Allah Halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan.
Tetapi barang siapa yang mengembalikan masalah cabang berdasarkan ilmunya kepada pokok-pokoknya, maka dia tidak berbicara berdasarkan akalnya." (shahih jami'il ilmi wa fadhlihi, hal. 415, karya Al Hafizh ibnu Abdil barr, diringkas oleh Abul Asybal Az-Zuhairi).

4. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa nafsu.
Imam Ali bin Abil 'Izzi al-Hanafi berkata: "barang siapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa nafsunya, dan Allah telah berfirman:
"dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun" (Qs. Al Qashshosh: 50)
(minhah ilahiyah fii tahdzib syarh ath Thahawiyah, hal: 393)

5. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan Rasulnya.
Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan rasulnya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui."(Qs.alHujuraat:1)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di berkata: "Ayat ini memuat adab terhadap Allah dan Rasulnya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Allah telah memerintahkan kepada para hambanya yang beriman, sebagai konsekwensi keimanan terhadap Allah dan RasulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasulnya di dalam seluruh perkara mereka.
Dan agar mereka tidak mendahului Allah dan RasulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Allah berkata, sampai Allah memerintah". (Taisir karimir Rahman, surat al-Hujurat:1)

6. Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat yang mengajak kepada kesesatan. Oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan.
Rasullullah Shallallahu 'Alaihi Wasalam bersabda:
"barang siapa : menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun." (HR. Muslim no. 2674, dari abu Hurairah)
Syaikh Muhammad bin Shalih al Ustaimin Rahimahullah berkata: "Sesungguhnya banyak orang awam, yang sebagian mereka memberi fatwa kepada sebagian yang lain dengan apa yang mereka tidak mengetahuinya.
Engkau dapati mereka mengatakan: "ini halal, atau haram, atau wajib, atau tidak wajib", sedangkan mereka tidak mengetahui sedikitpun tentang hal itu! Tidakkah mereka tahu, bahwa pada hari kiamat Allah akan menanyai mereka tentang apa yang mereka katakan. Tidak kah mereka tahu, bahwa jika mereka menyesatkan seseorang, dengan menghalalkan untuknya apa yang Allah haramkan, atau mengharamkan untuknya apa yang Allah halalkan, maka mereka kembali (kepada Allah) dengan dosa-dosa orang-orang yang mereka sesatkan, yang hal itu disebabkan oleh fatwa mereka itu." (Kitabul 'Ilmi, hal: 76)

7. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan di mintai tanggung jawab.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan di mintai pertanggungjawabannya." (Qs.al-Isra': 36)

Setelah menyebutkan pendapat para salaf tentang ayat di atas, imam ibnu katsir Rahimahullah berkata: "kandungan yang mereka sebutkan adalah bahwa Allah ta'ala melarang berbicara tanpa ilmu, tetapi (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan bayangan."
Beliau juga mengatakan: "Seorang hamba akan ditanya tentang sifat mendengar, melihat, dan berfikir pada hari kiamat, dan semuanya itu akan di tanya tentang apa yang telah di amalkan." (tafsir alQuranul azdim, surat al-Isra': 36)
Maka termasuk ayat ini adalah: "janganlah engkau mengikuti apa-apa yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya, janganlah kamu mengikuti perkataan, perbuatan, atau hati terhadap apa yang engkau tidak tahu. Sehingga Allah melarang kita untuk meyakini kecuali dengan ilmu, atau kita berbuat kecuali dengan ilmu, atau kita berkata kecuali dengan ilmu.
Maka tidaklah kita (langsung) meyakini apa saja yang kita dengar, dan apa saja yang kita lihat, tetapi kita wajib memperhatikannya dan memikirkannya. Jika kita telah mengetahuinya dengan bukti yang nyata, maka kita tinggalkan hal tersebut di daerah keraguan, perkiraan, dan persangkaan yang tidak di anggap." (ushulul hidayah, hal: 97, karya syaikh ibnu Badis. Di nukil dari, soal-jawab Haula Fiqhil Waqi' oleh syaikh al-Albani, taqdim: syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi, hal:6)Share